“Jik, gue ga tau berhak atau engga, tapi untuk kali pertama dalam hidup, gue jatuh cinta untuk kedua kalinya kepada wanita yang sama,” ucap seorang teman yang sedang sibuk menghisap sebatang rokok dengan penuh khidmat.
Celakalah rasa dengan semua ketidaktepatannya. Aku mencoba menimpali ucapnya dengan juga menghisap sebatang rokok yang sedari tadi menjadi teman lainnya di tengah hujan.
Maman dan Siti adalah sepasang manusia yang tak saling bertukar rasa. Ah, Maman yang berharap untuk bertukar, namun, Siti masih sibuk dengan cerita lainnya, cerita cinta yang kerap digaungkan tanpa ada Maman di dalamnya.
Namun, bukan kah begitu perkara rasa dan manusia. Seperti biasa izin mengutip dari filsuf andalan sejagat Nusantara, Sudjiwo Tedjo.
“Kamu berhak berencana untuk menyukai siapa, tapi kamu tidak pernah tau untuk jatuh hati kepada siapa,” kurang lebih begitu dalilnya.
Ah, sebelum lebih jauh, mari kita bertukar cerita (bukan rasa), tentang bagaimana Maman menyukai Siti untuk kali pertama.
Di sebuah gedung circa Jakarta Selatan, Maman untuk kali pertama mencoba membangkitkan kembali mimpi yang telah lama di kubur lama. Mimpi yang mungkin entah menjadi wujud apa, tapi masih dengan rasa yang sama. Mimpi yang ah..karena ini rahasia antara aku dan Maman, mari kita tidak usah lanjutkan. Anggap Maman sedang membunuh rutinitasnya yang membawa ke kata bosan.
Dengan rasa asing di awal, Maman mencoba mengikuti tiap-tiap kegiatan dengan penuh tawa. Sebentar, Maman memang manusia dengan penuh tawa. Bahkan, aku menganggap Maman adalah orang yang diciptakan secara sengaja oleh Tuhan, saat dunia penuh dengan kemuraman.
Mari kembali ke Siti dan Maman. Maman yang kukira gila dengan semua senyum dan tawanya, tiba-tiba berwajah merah dengan mata yang selalu curi pandang kepada salah satu kawan (ya Siti juga temenku, sih).
Sebagai lelaki dengan sejuta kepekaan, tentu saja tatap Maman berbuah tanya dariku, kan.
“Kenapa lu, suka ya?” kataku dengan pukulan khas di bahu Maman.
“Iya lagi, Jik.” ucap Maman tanpa banyak fafifu menjelaskan apa yang iya rasakan.
Bagi Maman, senyuman Siti di beberapa kesempatan, menjadi senyuman terhangat yang pernah ia rasakan. Walaupun sejatinya senyum itu bermaksud untuk semua hal dan sialnya itu masuk tanpa ketuk ke ranah pribadi Maman.
“HAH?” aku mencoba mencari makna dari jawaban Maman.
Dan ternyata, tentu saja, Siti dengan senyumannya memang gampang membuat orang jatuh cinta. Sial.
Dengan tiap kesempatan yang mereka jalani bersama, tentu saja, senyum Siti yang bagi Maman bisa meluluh lantahkan dunia, rasa Maman semakin tumbuh hangat. Sehangat secangkir kopi yang kemudian mengiringi obrolanku dan Maman di tengah hujan sore ini.
Lalu, rasa yang tak bertukar, membuat rasa Maman tak bertumbuh lagi. Ya, sebetulnya bagaimana mau bertumbuh, jika bagiku rasa sukanya sudah mengalahkan puncak Jaya Wijaya yang bahkan ga bisa aku bayangkan untuk ku daki.
Hingga kemudian, di sore ini. Di tengah hujan dan lantunan lagu Korea yang entah apa sayup kami dengarkan. Siti kembali dengan tiap gerakannya. Betul, Siti sedang mengajar dan kami lihat di ujung mata kami.
Tiap gerakan yang diiringi senyuman, memang berhasil membuat Maman lululantah. Rasa yang kukira sudah mencapai puncak tertinggi, kini kembali tumbuh hingga puncak lainnya yang bahkan belum masuk ke kamus bahasaku, setidaknya sampai saat ini. (Hela nafas dulu, biar ga capek mendengar cerita Maman tentang Nona si pemilik senyum manis yang ia sayang, cieilah)
Pada akhirnya, doa terbaik selalu aku iringi kepada Maman. Karena sejatinya untuk tiap hal yang ia rasakan, sebagai manusia merdeka itu menjadi miliknya. Walaupun rasanya tak bisa ia simpan dengan rapi, semoga tiap doa yang ia bisik kepada bumi, segera terwujud dengan Siti yang menjadi kekasih, ya walaupun bagi Maman menjadi tak penting antara kekasih atau bukan kekasih.
Tapi, ya, mari kita tutup tiap doa baik dengan Amin paling serius yang diucap Sal Priadi.