Setiap pagi,
kau pamit tanpa pamit—
hanya suara mesin tua
yang jadi tanda cintamu berangkat mencari nafkah.
Di antara debu terminal dan klakson serampangan,
kau tukar waktu dengan ongkos,
tukar tubuhmu dengan harapan
agar aku duduk di bangku sekolah,
bukan di jok belakang angkotmu.
Kau tak pernah belajar menyentuh dengan lembut,
tapi suaramu—keras dan tegas—
menjadi palu
yang membentuk tulang punggungku jadi kokoh.
Kalimatmu selalu terdengar lebih berat
daripada suara tangismu yang tak pernah kutemui.
Ayah,
aku tahu kau lelah,
tapi kau lebih takut anakmu lemah.
Maka kau ajarkan aku hidup
dengan tangan yang luka,
dan hati yang tak boleh cepat runtuh.
Kini aku berjalan,
di atas jalan yang kau aspal dengan air mata
yang tak pernah kau izinkan jatuh di wajah.
Dan jika Tuhan berbaik hati,
biarlah surga mencium tanganmu dulu,
sebelum mencium keningku.