CINTA & CAKAR DI JOGJA

00:20



Bumi, pria berusia dua puluh satu tahun dengan tubuh kekar khas petani, baru saja memulai kehidupan barunya sebagai mahasiswa di Yogyakarta. Sebagai anak pertama dari seorang petani dan ibu pemilik usaha pangkas rambut, Bumi merasa siap menghadapi tantangan hidup di kota budaya ini. Namun, menghadapi kenyataan hidup di kos-kosan dan kuliah di kampus penuh aktivitas dan kesempatan cinta, adalah hal yang sama sekali baru baginya.

Di hari pertama kuliah, Bumi sudah mencuri perhatian. Penampilannya yang unik—sepatu bot karet, celana kerja, dan kaos bergambar traktor—memang tidak biasa untuk mahasiswa di kampus tersebut. Ransel besar di punggungnya berisi berbagai peralatan pertanian dan buku-buku yang lebih cocok untuk bertani daripada kuliah. Di tengah-tengah kerumunan mahasiswa, Bumi merasakan tatapan penuh rasa ingin tahu dari teman-teman sekelasnya.

Selama sesi perkenalan di kelas, Bumi melihat seorang gadis cantik duduk di depan kelas. Gadis itu tampak sangat sibuk dengan laptop dan catatan, seolah-olah dia sudah siap menghadapi ujian yang akan datang. Nama gadis itu adalah Maya. Meskipun Maya tidak pernah menatap langsung ke arah Bumi, dia berhasil mencuri perhatian Bumi sepenuhnya.

Bumi, yang merasa terpesona, bertekad untuk mendekati Maya. Dia mulai mengikuti rutinitasnya ke kantin, tempat Maya sering menghabiskan waktu makan siang sambil mengetik di laptopnya. Setelah beberapa hari mencoba berbagai pendekatan—dari membeli makanan yang sama hingga duduk di meja yang sama dengan harapan bisa berbincang—akhirnya Bumi memutuskan untuk melakukan pendekatan langsung.

Suatu hari, Bumi mengumpulkan keberaniannya dan menghampiri Maya dengan membawa dua mangkuk mie instan.

“Hai,” katanya dengan suara ceria, “Saya lihat kamu sering makan di sini, jadi saya pikir mungkin kamu mau mencoba mie instan buatan saya. Ini resep rahasia dari ibu saya.”

Maya yang terkejut melihat Bumi muncul di hadapannya dengan senyum lebar dan mie instan yang diletakkan di meja, tidak bisa menahan tawanya. “Kamu tahu, biasanya orang tidak akan melakukan hal ini hanya untuk menarik perhatian seseorang,” katanya sambil menerima mangkuk mie tersebut.

Bumi tersenyum lebar, “Kalau begitu, ini adalah salah satu cara saya untuk berkenalan. Nama saya Bumi.”

“Nama saya Maya,” jawab gadis itu, sambil menyuap mie dengan cermat. “Ini enak sekali, terima kasih.”

Sejak saat itu, Bumi dan Maya mulai berbincang-bincang secara rutin. Bumi belajar banyak tentang kehidupan Maya yang sibuk, sementara Maya belajar tentang kehidupan sederhana Bumi di desa. Bumi merasa sangat senang bisa dekat dengan Maya, tetapi kabar bahwa Maya adalah ketua panitia acara seni kampus yang sangat sibuk membuatnya berusaha keras untuk terlibat dalam berbagai kegiatan kampus hanya untuk bisa melihat Maya lebih sering.

Bumi membantu Maya dalam persiapan acara seni kampus dengan cara yang lucu dan konyol. Dari menyiapkan dekorasi hingga menjadi model yang canggung untuk poster acara, semua upayanya membuat Bumi semakin dekat dengan Maya. Mereka sering tertawa bersama atas segala kekacauan yang terjadi, dan Bumi mulai merasa bahwa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.

Suatu malam setelah acara puncak, ketika semuanya sudah beres dan Maya terlihat sangat lelah namun puas, Bumi memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.

“Maya,” katanya dengan hati-hati, “Selama beberapa bulan terakhir, aku sudah melihat betapa hebatnya kamu bekerja dan seberapa keras kamu berusaha untuk membuat acara ini sukses. Aku hanya ingin tahu, apakah ada tempat untukku di hatimu seperti kamu telah menemukan tempat di hatiku?”

Maya terdiam sejenak, menatap Bumi dengan ekspresi serius. “Bumi,” katanya lembut, “Aku sangat menghargai semua usaha dan perhatianmu. Tapi ada sesuatu yang perlu aku katakan. Aku sedang mempersiapkan sesuatu yang sangat penting untukku.”

“Memang apa itu?” tanya Bumi, merasa sedikit khawatir.

Maya menghela napas dan melanjutkan, “Aku sebenarnya sedang mempersiapkan diriku untuk audisi girl band di Korea. Ini adalah impian sejatiku, dan aku sudah berkomitmen untuk mengejar karier ini dengan sepenuh hati.”

Kata-kata Maya seperti petir di siang bolong bagi Bumi. Dia merasa terkejut dan sedikit kecewa, tetapi dia berusaha untuk tetap tersenyum. “Aku mengerti, Maya. Impianmu sangat penting, dan aku berharap yang terbaik untukmu.”

Maya tersenyum sedih. “Terima kasih, Bumi. Kamu sangat berarti bagiku sebagai teman, dan aku akan selalu menghargai semua momen indah yang kita bagi bersama.”

Bumi meninggalkan tempat itu dengan perasaan campur aduk. Walaupun hatinya terasa hancur, dia merasa bersyukur telah memiliki kesempatan untuk mengenal Maya dan berbagi momen-momen lucu dan berharga bersamanya. Dengan tekad baru, dia melanjutkan kehidupannya sebagai mahasiswa di Jogja, mencoba menghadapi tantangan dan kesempatan baru dengan semangat yang sama seperti ketika dia pertama kali datang ke kota ini.

Dan begitulah, Bumi belajar bahwa cinta tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan, tetapi pengalaman dan pertemanan yang dibangun sepanjang perjalanan bisa menjadi kenangan yang tak ternilai. Di kota Jogja yang penuh dengan budaya dan peluang, Bumi terus mengejar mimpinya, sambil berharap suatu hari nanti cinta sejatinya akan datang kembali, mungkin dengan cara yang tak terduga.

You Might Also Like

0 komentar